Jumat, 29 Juni 2007

Mampukah guru sebagai enterpreneur ?

Mampukah guru sebagai interpreuneur ?

Akhir-akhir ini serangan tampilan tv begitu mendapat sambutan yang luar bagi semua kalangan, tak terkecuali anak-anak usia sekolah. Ironisnya tayangan-tayangan acara semacam sinetron dengan variasinya banyak yang memojokan dunia pendidikan, kalau tak mau dibilang menghancurkan. Banyak sekali cuplikan-cuplikan adegan dalam sinetron yang sangat bertentangan dengan norma-norma yang dikembangkan di dunia pendidikan (ciuman, kekrasan, sikap kurang ajar, pergaulan bebas, dll). Dengan dalih kebebasan pers “pendidikan” ala tv begitu mencekoki masyarakat. Bahkan yang sangat menyedihkan Diknas tak mampu berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Maka tak heran bila banyak anak yang berani dengan orang tuanya bahkan gurunya karena semua ini hasil “didikan” tv.

Bagi guru kondisi seperti ini sangat menyayat hati, pendidikan yang dirintis bertahun-tahun tak mampu membentengi akhlak siswanya dari masuknya budaya yang baru yang cenderung bertentangan dengan etika ketimuran. Namun demikian kita selaku pendidik tidaklah arif bila selalu menghujat dan menyalahkan tayangan tv. Sebagai seseorang yang arif tentunya kita bisa bekerja sama dengan pihak tv tentang kode etik dalam tayangan-tayangan tv yang berbungkus pendidikan. Semisal bila ada adegan yang menggambarkan kondisi di sekolah, jangalah tv menayangkan cerita sekolah-sekolah dengan aturan yang bebas yang berseberangan dengan kaidah baku yang telah ditetapkan oleh diknas. Pihak pengelola TV sebaiknya juga mempunyai misi untuk mendidik masyarakat melalui programnya. Memang bukan rahasia umum lagi bila dunia entertainmen menjadi ladang untuk mendapatkan segudang materi. Contoh kecil seorang pemeran dalam sinetron dalam satu kali tayang bisa mendapatkan honor sampai puluhan juta rupiah, bandingkan dengan seorang profesor yang bekerja sebagai dosen/guru begitu seperti bumi dengan langit.

Banyak kalangan memang berpendapat demikian tetapi tidak sedikit guru yang merasa kehadiran tayangan tv sebagai media pembelajaran, dengan syarat guru harus mampu menerjemahkan beberapa tayang tv yang selama ini sebagai endimik pendidikan menjadi gambaran realitas kehidupan. Sikap inilah yang perlu kita kembangkan untuk tidak mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain. Kita memang harus bertanya kepada diri kita, mengapa tayangan tv begitu digandrungi masyarakat sedangkan beberapa pelajaran di sekolahan malah menjadi momok peserta didik ?. Pernahkah kita berfikir untuk memperbaiki cara mengajar kita menjadi hal menyenangkan ?, Atau pernahkan kita berfikir untuk menjadi aktor dalam kelas yang bisa mempengaruhi siswa-siswi kita ? Inilah yang sebenarnya menjadi kajian kita sebagai insan pendidikan. Sekali lagi janganlah kita selalu menyalahkan pihak lain pada hal kita ini tidak berbuat sesuatu perbaikan.

Untuk memperbaiki kualitas pendidik di tanah air pemerintah selalu sibuk untuk mensosialisasikan kurikulum yang selalu berkembang. Dengan sekuat tenaga diknas selalu mengadakan pelatihan-pelatihan dalam pemahaman materi semata, kalaupun ada untuk perbaikan metologi hanya terpaku pada metodologi yang cenderung klasik. Memang tentunt kita setuju bahwa penguasaan materi ajar merupan pokok yang harus dikuasai, tetapi sejatinya cara penyampaian materi dengan pesan-pesan moral sangat penting. Ibarat perusahan perbaikan-perbaiakan metodologi dan performance guru menjadi bagian maketing yang begitu vital peranannya. Tanpa mekerting yang handal dan kuat perusahaan akan menjadi hancur dan diperusahaan biaya untuk pemasaran inilah yang begitu diperhatikan.

Bertitik tolak dari menariknya tayangan televisi bagi masyarakat tadi maka guru harusnya menggali segi positifnya. Dengan pengamatan (bahasa sederhana penelitian) guru bisa mengadopsi hal-hal yang bisa menarik perhatian masa. Semisal acara empat matanya Tukul Arwana yang begitu fenomental. Dengan kejelian kita bisa mengambil trik-trik tukul untuk digunakan dalam metode pengajaran. Dengan adanya metode-metode pembelajara yang mengadopsi dari entrepreuneur maka akan mucul guru-guru arwana yang kedatangannya di kelas sangat dinanti-nantikan siswanya. Selama ini dunia pendidikan seakan-akan begitu sakral untuk menggunakan metode yang di luar pakemnya. Tapi bila metode yang digunakan tidak menyimpang dengan etika pendidikan dan bisa lebih mengefektifkan transfer knowledge why not ? Hal-hal seperti ini sejatinya sudah banyak dicontohkan oleh pecinta-pecinta pendidikan.. Adi Gunawam Wijaya misalnya dengan keyakinannya bahwa semua anak genius, Beliau berusaha menciptakan metode pembelajaran lebih bermakna melalui gaya dan treatmennya Adi berhasil membuat pendidikan lebih funs dan sukses dan tentunya anak-anak didiknya tidak kalah kwalitasnya dengan lulusan sekolah pada umumnya. Contoh lain Lindo Novo dengan keseriusannya dan berani ke luar rel dari pendidikan yang pakem berhasil mendirikan sekolah alam yang begitu aplikable di dunia kehidupan nyata. Itulah dua sosok yang telah menggunakan ilmu entrepreuner di dalam mengembangkan pendidikan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pendidikan lainnya. Langkah berikutnya tinggal bagaimana pengelola-pengelola resmi pendidikan untuk tidak malu mencontoh bahkan untuk bekerjasama dengan pecinta-pecinta pendidikan yang sejati, kalau perlu bekerjasama pihak pengelola entrepreuner semisal pemilik stasion televisi.

Dengan kondisi seperti inilah seharusnya pemerintah sudah mulai terlecut untuk mengembangkan pendidikan berbasis entrepreuner. Dengan guru-guru yang mempunyai keahlihan sulap, lawak, motivasi membuat siswa-siswanya akan semakin injoy dan funs dalam belajarnya. Kalau ini bisa kita lakukan maka kita bisa menjawab dan membuktikan statmen yang dilontarkan oleh Paolo Fraer “Bahwa pendidikan adalah penjara masyarakat”.Namun tugas berat yang sejatinya harus dikembangkan oleh diknas adalah mengadakan pelatihan-pelatihan dasar dalam menjadikan guru berperfomance intertainment. Dengan kondisi seperti ini maka pendidikan kita akan menjadi edutaiment yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, tidak adalah siswa-siswa yang stres dalam pengajaran dan pendidikan bisa menggeser peran sinetron pada layar televisi. Tugas ini tidaklah gampang, dengan kompetensi yang harus dikuasai di bidang studinya guru diberikan tambahan teknik-teknik penyampaian materi yang menarik. Artinya Diknas janganlah menganggap tabu untuk mendatangkan nara sumber dari dunia entertainmen di dalam pelatihan guru. Tentunya ide ini mendatangkan sikap pro dan kontra, tetapi bila kita berkomitment untuk maju tidak ada hal yang tidak bisa kita kerjakan. Dan bila kita tengok kata bijak Bob Pile “ Kesenangan akan berbanding lurus dengan keberhasilan” kita optimis dunia pendidikan kita akan maju pesat.

By Supriyanto, 22 April 07

Tidak ada komentar: