Jumat, 29 Juni 2007

Gue dan My soulmate


Aku Supriyanto dengan nama keren Mr Pri mempunyai istri Diah Dwi Setyorini yang akrab dikenal dengan Tyok. Kami sekarang tinggal di Jln Gn Anjasmoro 12 BSD Bontang Kaltim. Sekarang aku kerja di SD-1 Yayasan Pupuk Kaltim Bontang sebagai guru IPS. Sedang istri ngurusi saya di rumah. Di Bontang kami merasa happy karena kotanya kecil dan gak banyak keributan. Hobby kami hampir sama maem dan jalan sore sekitar tempat tinggal. Prinsip hiduppun hampir sama "jalani hidup dengan usaha terbaik". Untuk ukuran guru saya masih jauh dari mumpuni maklum jauh dari pusat pemerintahan. Harapan kami Hidup harus berguna bagi semua insan.

Quo Vadis YPK

QUO VADIS YPK ?

Yayasan Pupuk Kaltim merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menjadi pioner di Kota Bontang sedang menuju usia seperempat abad. Sepanjang rentang waktu itu torehan prestasi selalu melekat di sini. Jika kita mau membuka arsip di Diknas Bontang, Kaltim, bahkan Diknas Pusat di Jakarta nama YPK lebih ratusan kali tersurat di situ. Mungkin bagi sekolah unggulan dengan siswa pilihan prestasi-prestasi ini bisa dibilang biasa saja. Tapi bagi YPK yang siswanya mempunyai kemampuan heterogen (dari A sampai Z) dengan tumpukan prestasi dari tahun ke tahun merupakan prestasi yang dibilang sangat luar biasa.

Jika kita bicara tentang input yang masuk ke YPK memang ini sepenuhnya menjadi keputusan ownner yaitu PT Pupuk Kaltim. Sejak dibentuknya tahun 1983, yayasan ini memang menjadi kenyamanan dan ketenangan bagi karyawanan PT Pupuk Kaltim dalam hal pendidikan putra-putrinya.Dengan usia yayasan yang relatif tua ini maka banyak putra-putri kayawan PKT yang mulai menginjak usia kuliah. Seiring dengan berkurangnya putra-putri karyawan yang seusia SD sd SMU maka membuka peluang untuk orang lain untuk menjadi siswa di sini YPK. Dan keberadaan siswa dari non karyawan ini bagi sebagian praktisi bisa berdampak dua hal pertama bisa berdampak baik artinya bila siswa non karyawan yang masuk mempunyai prestasi di atas rata-rata anak karyawan. Kedua keberadaan siswa non karyawan ini akan berdampak buruk bila ternyata prestasi siswa ini di bawah rata-rata, hal ini diperlemah lagi dengan uang sekolah yang bervariasi sehingga secara ekonomi mereka berkontribusi tidak signifikan.Tentunya masalah ini pengurus harus mengkaji kembali tentang kebijakan ini, paling tidak siswa non karyawan diberlakukan tes penyaringan sehingga bisa membawa harum nama YPK atau mengadakan program bea siswa bagi anak berprestasi untuk sekolah di sini. Hal ini untuk mengahapi kompetiter kita yang mulai berbenah dengan modal kucuran dana yang luar biasa besarnya.

Otonomi daerah membawa dampak luar biasa di dunia pendidikan Bontang. Dengan APBD yang besar serta alokasi dana pendidikan yang lebih dari12,5% membuat Diknas Bontang mempunyai modal yang cukup untuk berinovasi dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah-sekolah yang dulu bukan menjadi hitungan kita dalam hal perburuan prestasi kini sudah mulai menjadi riak-riak penghalang prestasi kita. Hal ini memang bisa di terima oleh nalar karena dengan dana yang besar Sekolah-sekolah negeri sudah mulai mensetting kelas mendekati kelas ideal. Mulai fasilitas, jumlah siswa, dan tentunya rangsangan-rangsangan finansial yang cukup memadai. Bagaimana dengan kita ? Inilah sebenarnya PR kita bersama untuk menjaga jangan sampai riak-riak tadi akan menjadi badai bahkan tsunami bagi YPK. Artinya YPK harus merevisi grand strategi dan grand master kita untuk jangka pendek dan jangka menengah, paling tidak penyesuaian anggaran YPK untuk kedepan terutama menghadapi isu sertifikasi guru dengan berbagai iming-iming tunjangannya.Selama ini ada kesan program-program YPK yang diambil ada yang seolah-olah “dadakan” bahkan problem klasik Penerimaan Siswa Baru selalu saja kwalitas dikalahkan dengan kwantitas yang akibatnya mengurangi keberhasilan dalam pembelajaran.

Bagi teman-teman guru mungkin bersaing dengan kompetiter-kompetiter yang ada sekarang tidaklah merisaukan, maklum banyak diantara mereka memang hasil rekrutmen dengan katagori baik ke atas. Bahkan timbulnya kompetiter ini menjadi spirit untuk menjadi yang lebih baik.Tapi ibarat seorang atlet penambahan vitamin sangat diperlukan untuk menjaga kebugaran dalam berkreasi. Tentunya vitamin-vitamin ini bermacam bentuknya dan tidak harus berupa kenaikan take home pay saja. Vitamin yang utama dan yang paling mendasar menurut penulis adalah perbaikan yang bisa membuat nyaman karyawan dalam menyiapkan putra-putrinya menghadapi masa depannya. Dan biasanya masalah ini terkristal pada bulan April dan Mei dimana awal pelajaran baru yang tentunya banyak dari teman-teman yang harus menyediakan dana lebih. Apalagi bagi teman-teman yang putra-putrinya siap untuk ke perguruan tinggi dana inilah yang kadang membuat kekawatiran kita semua.

Bukan sebuah apologi bila kita mulai meragukan kemampuan ekonomi kita untuk bisa membiayai pendidikan anak-anak kita sampai ke jenjang lebih tinggi. Memang ada filosopi dari orang tua kita bahwa kewajiban kita untuk menyekolahkan anak-anak kita minimal setara dengan pendidikan kita dan kalau bisa lebih tinggi. Mencermati kondisi penghasilan kita saat ini mungkin kita bisa bersikap pesimis untuk itu, tapi sebagai umat beragama tentulah kita harus menyandarkan keputusan kepadaNya. Berdoa kepadaNya itu pasti, tapi ingat bahwa Tuhan tidak merubah nasib sebuah kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya. Peringatan ini menjadi pemacu bagi kita untuk terus-menerus berusaha. Seandainya kita seorang pedagang mungkin kita bisa menganekaragamkan barang dagangan kita. Tapi kita semua adalah pendidik mungkinkah kita mencari tambahan rejeki di luar kegiatan rutin kita ? Apakah kita harus membuka bimbel dan memberikan tambahan-tambahan pelajaran door to door pada murid kita. Mungkin bagi sebagian teman-teman hal ini sah-sah saja dan wajar tapi sebagian lagi berpendapat bahwa tidak selayaknya guru menjual ilmunya dengan datang ke rumah-rumah. Memang kalau yayasan membiarkan gurunya untuk mencari tambahan dengan cara les door to door banyak resikonya. Pertama bila guru banyak mengadakan tambahan les maka energi dan konsentrasi yang seharusnya untuk difocuskan di sekolah tereduksi, kedua dengan banyaknya guru memberikan les akan membuat thrusly orang tua kepada yayasan mulai berkurang, ketiga dengan banyaknya waktu untuk les-les akan mengurangi waktu guru dalam mengupgreat profesionalisme guru, dan keempat akan mengurangi rasa coorporate karyawan YPK.

Jika yayasan menegakkan kembali peraturan yang telah ada dengan melarang gurunya untuk memberikan les. Konsekwensinya yayasan harus meninjau ulang gaji karyawan. Atau kalau perlu yayasan memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengelola tambahan pelajaran bagi siswa-siswa yang membutuhkan matrikulasi atau bahkan untuk pengayaan. Kebijakan ini mungkin akan lebih baik karena dengan adanya tambahan pelajaran yang dikelola sekolah maka siswa yang masih kurang akan lebih tertangani, kedua guru akan mendapatkan tambahan penghasilan, ketiga dalam memberikan tambahan pelajaran guru masih mempunyai ikatan batin untuk berbuat yang terbaik.Tapi semua itu terpulang kepada yayasan untuk memikirkannya. Dengan adanya fakta-fakta ini yayasan tentunya mulai untuk memikirkan kelanjutan pendidikan anak-anak guru dan karyawan . Bisa juga yayasan mengadopsi beberapa anak perusahaan yang selalu memperhatikan pendidikan putra-putri karyawannya dengan memberikan bea siswa dan memberikan bantuan bagi putra-putrinya yang kuliah. Sungguh ironis bila yayasan tidak segera memikirkan ini. Bisa-bisa guru-guru di sini ibarat menjadi lilin yang mengajari anak orang lain dan anak sendiri terterlantarkan karena ekonomi (mengorbankan diri sendiri untuk orang lain). Dan memang perbaikan kesejahteraan tidak mutlak bisa meningkatkan kenerja seseorang. Tetapi bila yayasan telah berbuat banyak untuk meningkatkan kesejahteraan tentunya akan lebih mudah untuk menagih komitmen karyawannya.

Sebagai akhir tulisan ini penulis mencoba menjawab sendiri tentang pertanyaan di atas bahwa YPK harus menjadi sekolah bermutu di Indonesia timur sesuai dengan visi dan misinya dan tentunya YPK juga harus bisa menjadikan guru-gurunya nyaman dan aman dalam berkreasi dengan menjamin kebutuhan hidup sehari-hari serta menyediakan biaya pendidikan putra-putrinya. Bila YPK berkomitmen untuk ini maka YPK tidak hanya menjadi sekolah unggul di Indonesia Timur tapi bisa tingkat Nasional dan kalau perlu ke Internasional. Apakah ini bisa tercapai ? Hanya orang tidak cerdas yang tidak percaya pada keyakinan. Meskipun di luar kita banyak rumput hijau kita akan lebih suka di dalam karena suasana nyaman dan aman bagi anak-anak kita.

Supriyanto,Bontang,15 April 07

Bekerja dengan hati

Manusia dalam hidupnya pasti bekerja. Bekerja saat ini gampang-gampang susah. Jangankan untuk mendapat rejeki halal untuk yang harampun susah. Tapi sebagai manusia tentunya kita tetap berprinsip yang penting halal kita kesampingkan berapun jumlahnya.

Mampukah guru sebagai enterpreneur ?

Mampukah guru sebagai interpreuneur ?

Akhir-akhir ini serangan tampilan tv begitu mendapat sambutan yang luar bagi semua kalangan, tak terkecuali anak-anak usia sekolah. Ironisnya tayangan-tayangan acara semacam sinetron dengan variasinya banyak yang memojokan dunia pendidikan, kalau tak mau dibilang menghancurkan. Banyak sekali cuplikan-cuplikan adegan dalam sinetron yang sangat bertentangan dengan norma-norma yang dikembangkan di dunia pendidikan (ciuman, kekrasan, sikap kurang ajar, pergaulan bebas, dll). Dengan dalih kebebasan pers “pendidikan” ala tv begitu mencekoki masyarakat. Bahkan yang sangat menyedihkan Diknas tak mampu berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Maka tak heran bila banyak anak yang berani dengan orang tuanya bahkan gurunya karena semua ini hasil “didikan” tv.

Bagi guru kondisi seperti ini sangat menyayat hati, pendidikan yang dirintis bertahun-tahun tak mampu membentengi akhlak siswanya dari masuknya budaya yang baru yang cenderung bertentangan dengan etika ketimuran. Namun demikian kita selaku pendidik tidaklah arif bila selalu menghujat dan menyalahkan tayangan tv. Sebagai seseorang yang arif tentunya kita bisa bekerja sama dengan pihak tv tentang kode etik dalam tayangan-tayangan tv yang berbungkus pendidikan. Semisal bila ada adegan yang menggambarkan kondisi di sekolah, jangalah tv menayangkan cerita sekolah-sekolah dengan aturan yang bebas yang berseberangan dengan kaidah baku yang telah ditetapkan oleh diknas. Pihak pengelola TV sebaiknya juga mempunyai misi untuk mendidik masyarakat melalui programnya. Memang bukan rahasia umum lagi bila dunia entertainmen menjadi ladang untuk mendapatkan segudang materi. Contoh kecil seorang pemeran dalam sinetron dalam satu kali tayang bisa mendapatkan honor sampai puluhan juta rupiah, bandingkan dengan seorang profesor yang bekerja sebagai dosen/guru begitu seperti bumi dengan langit.

Banyak kalangan memang berpendapat demikian tetapi tidak sedikit guru yang merasa kehadiran tayangan tv sebagai media pembelajaran, dengan syarat guru harus mampu menerjemahkan beberapa tayang tv yang selama ini sebagai endimik pendidikan menjadi gambaran realitas kehidupan. Sikap inilah yang perlu kita kembangkan untuk tidak mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain. Kita memang harus bertanya kepada diri kita, mengapa tayangan tv begitu digandrungi masyarakat sedangkan beberapa pelajaran di sekolahan malah menjadi momok peserta didik ?. Pernahkah kita berfikir untuk memperbaiki cara mengajar kita menjadi hal menyenangkan ?, Atau pernahkan kita berfikir untuk menjadi aktor dalam kelas yang bisa mempengaruhi siswa-siswi kita ? Inilah yang sebenarnya menjadi kajian kita sebagai insan pendidikan. Sekali lagi janganlah kita selalu menyalahkan pihak lain pada hal kita ini tidak berbuat sesuatu perbaikan.

Untuk memperbaiki kualitas pendidik di tanah air pemerintah selalu sibuk untuk mensosialisasikan kurikulum yang selalu berkembang. Dengan sekuat tenaga diknas selalu mengadakan pelatihan-pelatihan dalam pemahaman materi semata, kalaupun ada untuk perbaikan metologi hanya terpaku pada metodologi yang cenderung klasik. Memang tentunt kita setuju bahwa penguasaan materi ajar merupan pokok yang harus dikuasai, tetapi sejatinya cara penyampaian materi dengan pesan-pesan moral sangat penting. Ibarat perusahan perbaikan-perbaiakan metodologi dan performance guru menjadi bagian maketing yang begitu vital peranannya. Tanpa mekerting yang handal dan kuat perusahaan akan menjadi hancur dan diperusahaan biaya untuk pemasaran inilah yang begitu diperhatikan.

Bertitik tolak dari menariknya tayangan televisi bagi masyarakat tadi maka guru harusnya menggali segi positifnya. Dengan pengamatan (bahasa sederhana penelitian) guru bisa mengadopsi hal-hal yang bisa menarik perhatian masa. Semisal acara empat matanya Tukul Arwana yang begitu fenomental. Dengan kejelian kita bisa mengambil trik-trik tukul untuk digunakan dalam metode pengajaran. Dengan adanya metode-metode pembelajara yang mengadopsi dari entrepreuneur maka akan mucul guru-guru arwana yang kedatangannya di kelas sangat dinanti-nantikan siswanya. Selama ini dunia pendidikan seakan-akan begitu sakral untuk menggunakan metode yang di luar pakemnya. Tapi bila metode yang digunakan tidak menyimpang dengan etika pendidikan dan bisa lebih mengefektifkan transfer knowledge why not ? Hal-hal seperti ini sejatinya sudah banyak dicontohkan oleh pecinta-pecinta pendidikan.. Adi Gunawam Wijaya misalnya dengan keyakinannya bahwa semua anak genius, Beliau berusaha menciptakan metode pembelajaran lebih bermakna melalui gaya dan treatmennya Adi berhasil membuat pendidikan lebih funs dan sukses dan tentunya anak-anak didiknya tidak kalah kwalitasnya dengan lulusan sekolah pada umumnya. Contoh lain Lindo Novo dengan keseriusannya dan berani ke luar rel dari pendidikan yang pakem berhasil mendirikan sekolah alam yang begitu aplikable di dunia kehidupan nyata. Itulah dua sosok yang telah menggunakan ilmu entrepreuner di dalam mengembangkan pendidikan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pendidikan lainnya. Langkah berikutnya tinggal bagaimana pengelola-pengelola resmi pendidikan untuk tidak malu mencontoh bahkan untuk bekerjasama dengan pecinta-pecinta pendidikan yang sejati, kalau perlu bekerjasama pihak pengelola entrepreuner semisal pemilik stasion televisi.

Dengan kondisi seperti inilah seharusnya pemerintah sudah mulai terlecut untuk mengembangkan pendidikan berbasis entrepreuner. Dengan guru-guru yang mempunyai keahlihan sulap, lawak, motivasi membuat siswa-siswanya akan semakin injoy dan funs dalam belajarnya. Kalau ini bisa kita lakukan maka kita bisa menjawab dan membuktikan statmen yang dilontarkan oleh Paolo Fraer “Bahwa pendidikan adalah penjara masyarakat”.Namun tugas berat yang sejatinya harus dikembangkan oleh diknas adalah mengadakan pelatihan-pelatihan dasar dalam menjadikan guru berperfomance intertainment. Dengan kondisi seperti ini maka pendidikan kita akan menjadi edutaiment yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, tidak adalah siswa-siswa yang stres dalam pengajaran dan pendidikan bisa menggeser peran sinetron pada layar televisi. Tugas ini tidaklah gampang, dengan kompetensi yang harus dikuasai di bidang studinya guru diberikan tambahan teknik-teknik penyampaian materi yang menarik. Artinya Diknas janganlah menganggap tabu untuk mendatangkan nara sumber dari dunia entertainmen di dalam pelatihan guru. Tentunya ide ini mendatangkan sikap pro dan kontra, tetapi bila kita berkomitment untuk maju tidak ada hal yang tidak bisa kita kerjakan. Dan bila kita tengok kata bijak Bob Pile “ Kesenangan akan berbanding lurus dengan keberhasilan” kita optimis dunia pendidikan kita akan maju pesat.

By Supriyanto, 22 April 07